Kamis, 19 Juli 2012

Enyong kangen karo kowen

Njagong enyong neng pinggir elon
Weruh manuk pating cricit
Kelingan kowen bocah ayu
Bocah wadon sing gawe semangate enyong nganti munjuk

Godong-godong jowar sing neng ngarepe enyong
Kayonge melu ngrasakena kengene enyong maring kowen
Dong kowen nylomod atine enyong nganti kebakar geni mulad-mulad
Kebakar ganing genineng dewa amor

Awan lan bengi, ora karuan pikirane enyong mikiri kowen
Ora bisa turu
Ora doyan mangan
Ora teyeng mikir
Bisane mung mbayangena raine kowen tok

Bocah-bocah cilik sing liwat
Weruh enyong nggal dina ngomong dewekan
Kandah karo sandale kowen
Donge kowen neng endi?
Aku kangen karo kowen

Kamis, 12 Juli 2012

Sajak untuk Dinda

Nda, aku kabarkan kepadamu
Bahwa gelanggang hidup sangat tajam dan mengiris
Lihatlah di luar sana
Berbagai peristiwa muncul bertubi-tubi dan berkali-kali tanpa henti
Lalu ingatlah ketika aku membawamu ke sana
Aku keluhkan kepadamu
Masa-masa silam yang kelam dan tenggelam

Nda, kau laksana ilham tersembunyi
Kau ajarkan aku tentang kesabaran dan keikhlasan
Ketika aku menggunjing dunia yang kejam
Menulis bait-bait puisi dengan penuh caci maki
Kau ajarkan aku tentang kedamaian dan cinta
Katika mulutku memuntahkan sumpah serapah melaknat mereka
Hingga tubuhku berkobar hangus terbakar api dendam
Kau ajarkan aku betapa indahnya penerimaan dan kesadaran
Ketika aku menghardik nasib yang berpihak sepihak saja

Nda, aku malu melihat diriku yang padat dan cacat
Namun sorot matamu tawarkan kesejukkan
Membangkitkan semangat yang tertidur
Dan mengembalikan jiwa yang hilang

Nda, kau adalah sumber inspirasi
Kau adalah telaga cinta yang sirna
Meski kini kau telah tiada
Namun banyak sudah kudapati lezatnya samudra hidup bersamamu
Yang kekal terpahat dalam

Selasa, 10 Juli 2012

Gelisah malam

Seorang diri aku dalam kamar
Usang warna seprai bertumpuk bantal usang
Batang-batang rokok menjadi puntung yang cemar

Langit mengucurkan air matanya
Aku seorang diri dalam kamar
Sempit berantakan dengan lampu redup menyala
Namun bagai tanpa cahaya

Sementara di luar sangkar
Di ruang tamu,
Faozan tidur
Yaskur mendengkur
Faiz nampak gelisah
Murung menghitung uang hasil kerjanya
Dengan lampu baterai yang menyala
Tangannya mengutak-atik kalkulator bodol yang ditemukannya sore tadi di pinggir jalan waktu ia pulang dagang

Malam semakin larut
Aku enggan keluar sangkar
Petir mengamuk menggelegar bagai srigala murka
Aku takut
Kolong tempat tidur pun jadi persembunyian
Meringkal tubuhku dengan nyenyak ketakutan

Aku harap esok segera tiba dan matahari cepat terbit
Agar tak usang tubuhku
Agar tak kumuh pikiranku
Agar tak redup semangatku
Agar hilanglah rasa takutku
Amin...

Minggu, 08 Juli 2012

Bidik saja aku dengan senapanmu

Hari ini janjimu aku pegang, sumpahmu aku genggam
Air mata terlanjur berlinang
Membanjir dan membekas pada setiap garis yang terpahat oleh cakrawala zaman

Jangan janji hanya mimpi
Jangan sumpah menjadi sampah

Kini hidupku semakin bergantung pada baktimu yang tertunda
Lihatlah cara fikirku yang semakin tak terarah
Menyaksikan kenyataan yang ada di depan mata menghapus segala impian

Oh…
Hari hariku terasa semakin sempit tuk aku jamah
Sementara Anjing-Anjing liar siap menghambat setiap gerak langkah
Bersama sang waktu yang membisu disaat kucoba ikuti nurani

Sekarang hanya janjimu yang aku tunggu
Hanya sumpahmu yang aku andalkan
Jangan ingkari dengan kemunafikan
Atau bidik saja aku dengan senapanmu
Jika tak mungkin terwujud segala sumpah sampai saat ajal datang menjelang

Sabtu, 07 Juli 2012

Tahukah kamu

Tahukah kamu ketika jari jemarimu menggenggam kekuasaan?
Itu adalah amanah dari tuhanmu, Allah
Tahukah kamu ketika hatimu menyimpan kebenaran?
Itu adalah amanah dari tuhanmu, Allah
Tahukah kamu ketika mulutmu mengunyah daging dan anggur dengan rakus?
Itu adalah amanah dari tuhanmu, Allah

Tahukah kamu ketika matamu melihat keindahan
Hatimu merasakan kedamaian
Tubuhmu terbungkus pakaian kebesaran
Hidungmu mencium kesejukan
Lidahmu merasakan kenikmatan

Itu adalah amanah dari tuhanmu, Allah

Bentangkan sajadah bersujudlah
Nikmati dan terus nikmati malam yang lembut kala sunyi
Dengarkan alunan nada suara tangis yang menderu
Rasakan dengan lidahmu
Rasakan dengan hatimu
Rasakan dengan segenap lenguh jiwamu
Kunyahlah dengan rakus zikir lewat mulutmu
Runtuhkan segala dosa bersama runtuhnya simbah air matamu

Fajar yang kau lihat esok hari
Menyingsing seiring riuh semesta
Cakrawala menjadi tiang langit dan bumi
Pandanglah dengan matamu

Ya Allah
Ampunkanlah mata kami yang tak mampu melihat keagunganmu
Ampunkanlah mulut kami yang tak sanggup menelan zikir
Ampunkanlah hati kami yang tak dapat merasakan kebenaran
Ampunkanlah tangan kami yang tak bisa menggenggam amanah
Ampunkanlah hidung dan kening kami yang tak pernah merasakan indahnya sujud ditengah malam sunyi

Ampunkanlah ya Allah....





Sang dewa petaka

Ingin kuajak kalian berjalan ke plosok plosok desa
Saksikan kenyataan yang telah lama kalin dengar hanya lewat cerita
Lihatlah bagaimana mereka yang terkucil berselimut debu
Terkubur diatas segala penderitaan
Pernahkah kalian fikirkan nasib mereka yang terlunta lunta?

Oh
Ternyata bangsa ini sudah tak waras lagi
Rakyatnyapun jadi ikut gila bersama para pemimpinnya yang memang sedang terjangkit penyakit jiwa Pendidikan tak pernah kalian fikirkan
Jaminan kesehatan malah menjadi mimpi abadi
Bahkan kemiskinan menjadi catatan pasti dalam sejarah yang panjang disetiap pergantian generasi

Mereka yang lapar tak bisa berbuat apa-apa
Sementara kalian malah sibuk membabi buta dengan mengeruk harta Negara
Kalian korupsi
Kalian curi uang rakyat
Kalian rampas hak merka tanpa batas

Wahai sang dewa petaka
Lelah tangan para seniman mengetuk pintu
Sampai serak ribuan mahasiswa berorasi didepan istana
Tapi itu tak sedikitpun menyadarkan kalian yang gila harta

Kini, para ulama hanya bisa mengelus dada dan geleng-gelengkan kepala
Sedang rakyat tetap setia menunggu satu perubahan yang benar-banar nyata

Panji-panji demokrasi

Dibawah kesadaran, dibawah tiang sebuah harapan
Tiupan angin berhembus
Membawa seberkas alunan nada fatamorgana
Panji-panji demokrasi berkibar di angkasa
Bersorak soraya, berjingkrak dan menari-nari diiringi semaraknya perubahan makna

Panji-panji demokrasi adalah bendera tanpa tiang
Yang dikibarkan sebagai topeng pembawa kewibawaan
Mulut yang berteriak mangumbar janji-janji kepalsuan
Hatinya busuk seperti bangkai-bangkai Anjing yang mati kelaparan
Memutar haluan, menyalahi kejadian, dan menghisap kesejahteraan

Sementara disini
Teriak ketidak puasan rakyat seolah membakar dunia
Menuntut dunia yang berpura-pura adil
Padahal kejam dan menyiksa
Panji-panji demokrasi, panji-panji kejayaan
Panji-panji yang dipasang lebel tabu
Dijunjung tinggi kemudian diinjak-injak
Lalu dibungkus rapi dengan kain kafan yang bulukan

Konstitusi adalah omong kosong
Hanya kata sesumbar untuk menipu rakyat yang tak tau apa-apa
Menipu rakyat yang selama ini meringkuk dalam penderitaan
Struktur pemerintahan harus segera dirombak
Diganti dengan pemikiran-pemikiran yang lebih jernih, lebih bersih dan lebih sehat

Kini pancasila harus dijunjung tinggi
Undang-undang bukan sekedar dekorasi
Bukan ladang untuk mancapai kejayaan
Panji-panji demokrasi terbentang diangkasa
Tersaji untuk mereka penikmat janji-janji

Dengarlah,
Panji-panji demokrasi dikibarkan bukan untuk hiasan
Bukan juga sekedar mempertinggi angan-angan
Apalagi sebagai omong kosong tanpa penghayatan
Kini kita kembali pada makna demokrasi yang sesungguhnya
Singkirkan bercak debu yang melekat pada sendi-sendi pemerintahan
Lakukan dengan segenap keberanian
Berontaklah terhadap para penjajah yang berpura-pura menjadi pahlawan